Curhat Perjalanan Kulit dan Skincare

Dear Readers,

Kali ini curhat mengenai perjalanan kulit dan skincare saya. Jadi, post-nya pakai bahasa Indonesia ya.
Saya orangnya suka mencoba hal baru. Apalagi kalau ada produk baru dengan bahan yang menarik, wah langsung deh beli buat icip-icip. Masalahnya, saya punya kulit super sensitif. Salah dikit aja langsung deh jadi jerawatan.
This is me, at one of my best skin condition
Mulai Berjerawat

OK mari kita kembali ke jaman SMA. Waktu SMA saya benar-benar awam sama yang namanya dunia skincare. Paling cuma foam cleanser dan kadang pakai pelembab P*ND'S, itupun ga tiap hari. Nah, ketika saya SMA dan masuk ekskul PBB, jadilah kulit saya makin ireng gara-gara berjemur tiap hari. Masalahnya ga cuma hitam aja, tapi setelah berjemur kulit saya warna merah kayak tomat dulu. Ya, saya punya kulit super sensitif sama matahari, sampai-sampai nanti saat kuliah akan ada "petaka" gara-gara matahari (nanti akan saya ceritakan lebih lanjut).

Akhirnya, atas saran ibunda yang lebih kece soal skincare, saya dibelikan sunscreen merk L. Ibu saya cocok sama merk ini, jadi anaknya juga kulitnya pasti mirip-mirip donk, pasti cocok. OK, sunscreen rutin dipakai. Kulit udah ga merah lagi setelah berjemur. Tapi, lama-lama kok ada yang aneh ya. Jerawat muncul satu demi satu. Dimulailah era berjerawat dalam hidup saya.

Kemudian ada teman menawarkan facial foam, katanya formulanya khusus kulit berjerawat. Yah, karena saya masih cupu, akhirnya percaya deh. Dicobalah facial foam itu. Dan ternyata di saya ga cocok. Yang ada malah makin parah.

Akhirnya Ibu saya mengajak belanja ke toko kosmetik langganannya. Di sana ditawarkan sebuah krim yang dijual di jar plastik tanpa merk. Katanya sih krim dokter buat kulit berjerawat. Maklum, saya waktu itu masih cupu. Jadi percaya aja sama omongan seller. Krimnya berminyak banget. Baunya juga agak nyengat. Tapi ya saya rajin pakai, soalnya pengen jerawatnya sembuh. Ternyata beneran ngaruh loh, sampai akhirnya saya beli jar yang kedua. Cuma lama-lama saya agak ragu sama krim ini, kok ga ada merknya. Pas make juga berminyak banget, jadi ga nyaman. Jadi saya hentikan pemakaian, meskipun akhirnya ditanyain sama ibu ketika jerawatnya balik lagi. Karena saya bilang ga suka krimnya lengket, ibu akhirnya cuma ngasih facial foam buat jerawat dari merk andalannya.

Kuliah, pindah kota, jerawat makin menjadi


Lepas SMA, kulit saya sudah penuh dosa bekas jerawat. Belum lagi karena pindah ke kota baru yang lebih panas, lembab, dan berdebu, kondisi kulit saya makin parah. Belum lagi karena stress menghadapi tahun pertama kuliah. Jerawat cystic (jerawat yang mendem di bawah kulit) menjadikan muka saya sebagai lahan favoritnya. Dulu waktu SMA saya juga punya jerawat cystic, tapi ga sebanyak ini. Jerawat cystic ini ga enak banget. Sudah sakit luar biasa, lama sembuhnya, ketika sembuhpun meninggalkan bekas yang luar biasa besar. Tidak jarang meninggalkan cekungan di kulit.

Pernah suatu ketika teman sekampus saya menanyakan, "Lin, maaf ya, itu jerawatmu kamu apain? Kok sampai bolong-bolong gitu bekasnya?", dan saya cuma bisa senyum. Ya, jerawat cystic di saya mau didiemin aja juga pada akhirnya bisa meninggalkan bopeng. Kalau bukan bopeng, minimal bekasnya merah dan sangat besar, hilangnya juga sangat lama.
Be ready for it..
Awal kuliah: terserang banyak cystic acne (di pipi, hidung, dagu, alis)
Jujur saja, cystic acne itu sakit luar biasa. Sudah begitu, lama pula sembuhnya. Ketika di Surabaya, saya masih terus pakai facial foam dan obat jerawat dari merk lokal favorit Ibunda. Tapi, ternyata malah makin parah. Akhirnya ketika liburan, orang tua saya mengajak berobat ke dokter kulit. Itu baru pertama kalinya saya berobat ke dokter kulit lho. Dokternya sendiri kaget, kenapa kok sudah parah begini baru dibawa ke dokter. Yah, maafkan saya yang rada anti sama yang berbau dokter, Dok :'(

Karena sudah parah, akhirnya sama dokter diberi obat minum berupa antibiotik, facial foam, dan salep oles saja. Dan dilarang menggunakan make up (bahkan sunscreen sekalipun). Setelah dua kali kunjungan ke dokter ini, akhirnya cystic acne di muka saya mulai reda. Yey! Sudah nggak sakit lagi! Eits, tapi bekasnya itu lho, harus ditanggung bertahun-tahun.

Setelah kunjungan ke dokter kulit itu saya stop pakai produk apapun dari merk favorit ibu saya itu. Kesimpulan saya sih satu, biarpun emaknya cocok, anaknya belum tentu cocok, dan saya sama sekali tidak cocok menggunakan produk dari brand tersebut. Selama setahun lebih saya puasa makeup dan skincare. Waktu itu jerawat tetap muncul, tapi mending lah, cuma satu-dua jerawat. Yah, kadang kalau jerawat cystic yang muncul, memang super nyebelin sih.
Setelah satu tahun lebih puasa make up/skincare, jerawat yang muncul mulai berkurang

Mulai sadar bahwa kulit saya sensitif terhadap matahari

Waktu SMP, ketika pelajaran olahraga di lapangan, ada seorang teman sekelas saya bilang, "Lin, kulit mukamu merah ya?". Waktu itu saya nggak ngeh. Ah, paling gara-gara olahraga jadinya merah karena aliran darah meningkat.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya sudah kuliah di kota Surabaya, entah kenapa, kulit saya yang di Bali item dekil, berubah menjadi putih. Ini tanpa pakai skincare whitening lho, kan setelah dari dokter kulit saya ga pakai skincare apa-apa kecuali facial foam. Bahkan sunscreen pun ngga pakai.

Di tahun kedua, saya lumayan aktif di organisasi. Suatu kali saya ikut sebuah acara khusus staff yang diadakan di luar kota. Salah satu sesi acaranya adalah outdoor game. Melengganglah saya dengan santai di jalanan desa yang sepi dan sejuk, bermain-main dengan kawan-kawan di bawah sinar matahari yang menghangatkan. Seusai acara, ketika kami berjalan pulang ke villa, bos saya, sang kepala departemen, tiba-tiba nyeletuk : "Lin, mukamu kok merah kayak tomat?".

Eh? Merah? Tomat? Maksudnya? Kalo berjemur kan harusnya item, bukan merah? Tapi, memang sih, kulit muka saya rasanya panas, mirip orang demam, saya pikir saya memang lagi sakit. Ah, cuma merah dikit, ga masalah. Dan sayapun tidak menaruh curiga sedikitpun pada keanehan kulit saya.
Maaf fotonya buram, tapi bisakah Anda lihat tone merah kulit saya (yang dilingkari kuning)? Di acara yang difoto ini saya pakai pelembab yang ada SPF, jadi tidak se-"tomat" seperti waktu dilihat oleh bos saya

Di tahun ketiga kuliah, saya masih aktif di organisasi. Yah, waktu saya mulai lah sedikit "centil", suka coba-coba produk baru macam BB cream. Lumayan, bikin kulit kelihatan lebih mulus dan menutupi noda-noda jerawat. Karena sudah ada SPF-nya, jadi saya tidak beli lagi sunscreen terpisah. "Sudah all-in-one, kok," pikir saya.

Hingga suatu hari, saya ikut mengorganisir acara camp di pegunungan luar kota selama 3 hari 2 malam. Karena acaranya sangat padat dan sibuk dan berada di tengah-tengah desa terpencil, saya jadi ragu untuk membawa BB cream, takutnya nanti jadi bahan gosip oleh para junior maupun kawan saya sendiri. Maklum, kampus saya kampus teknik, kalau bawa bahan dandan dikit aja, bisa dikata-katain. Warna tomat dikit gapapa lah, jaim dikit. Akhirnya tube BB-cream ber-SPF itu saya tinggalkan di kamar kost, demi pencitraan -~halah~- Dan bego-nya, saya nggak beli sunscreen lagi (gubrak!!).

Jadi, tempat camp itu ada di dataran tinggi, super dingin, dan sedang musim hujan. Saya tahan dingin, daya tahan tubuh saya lebih kuat dari teman-teman saya pada umumnya, dan mereka tahu itu. Tapi saya ngga akan tahan kalau hujan + dingin, jantung saya bakal terasa hampir berhenti dan otot lengan/kaki saya ngga bisa digerakkan. Tapi, ketika tenda bocor, pengurus organisasi dirasa pantang buat bilang sakit, dalam kondisi saya yang sudah hampir ga bisa gerak, saya tetap berusaha sekuat tenaga buat membantu benerin tenda. Jadilah saya kondisi saya drop karena dingin + basah.

Satu-satunya cara memulihkan diri saya adalah dengan cahaya matahari. Saya butuh kehangatan! (ciee) Esok harinya. ketika matahari bersinar cerah, saya menyambut kehangatan cahaya matahari dengan lengan terbuka lebar (emang film yak?? Hahaha) OK, dan saya bugar kembali! Gampang banget ya? Eh, ada yang kelupaan di sini. Apa itu?

Yak, betul sekali, saya ga pakai SPF sedikitpun! Tanpa SPF/PA + mencari cahaya matahari di pegunungan + kulit saya = instant disaster. Ah, kalau tanning aja sih ga masalah. Sexy lagi, Indonesia bangeeet ;) Masalahnya bukan tanning-nya. Jerawat? Ah, kalau cuma jerawat mah biasa. Kulit warna tomat? Ah, kalau cuma warna merah tomat terus besoknya jadi item mah udah biasa.. Lalu apa donk?

Setelah selesai camp, kulit saya merah-hitam, berjerawat, kering, dan mengelupas. Padahal kulit saya tipe kombinasi cenderung berminyak dan ga pernah ada kasus mengelupas sebelumnya. Ini sudah gejala kulit rusak parah, kalau sampai terpapar sinar matahari lebih lama lagi, kayaknya bisa kena kanker kulit tuh. Mengelupasnya bukan cuma mengelupas sel-sel kulit mati, tapi ini mengelupasnya sampai perih bok. Kena sentuh dikit aja perih. Skincare-skincare yang saya miliki malah bikin tambah perih ketika diaplikasikan. Cuci muka aja bisa bikin perih. Rusak paraaaah~

Dan, akhirnya barulah saya menyadari seberapa sensitifnya kulit saya terhadap matahari. Bahwa terpapar matahari tanpa SPF/PA bagi kulit saya adalah kesalahan besar. Gejala merah tomat yang dulu-dulu karena kulit saya baru terpapar sinar matahari selama sejam-dua jam, itu pun banyak diselingi mencari tempat teduh. Sementara jika terpapar matahari lebih lama lagi, terutama di dataran tinggi, kulit saya bisa rusak total. Saya butuh dan wajib pakai perlindungan SPF/PA.

Waktu itu saya nyesel-se-nyesel-nyeselnya, kenapa pakai jaim segala sih, sampai ga bawa BB cream? Toh, niatnya bukan dandan, tapi nyari SPF/PA-nya. Saya sampai harus mengeluarkan duit ratusan ribu nyoba macem-macem skincare sampai ketemu yang bisa memulihkan kondisi kulit saya. Mamam dah tuh jaim.

Pelajaran yang bisa dipetik : Ga usah sok jaga image lah kalau memang kamu butuh sesuatu. Kamu yang tau dirimu dan kebutuhanmu sendiri, sementara orang lain cuma bisa menerka-nerka. Kalau kamu perlu treatment khusus, ya lakukanlah selama kamu ngga mengusik orang lain, meski orang di sekitar kamu nggak melakukannya. Dirimu cuma ada satu, satu-satunya di dunia, jadi sayangi dirimu.

Pelajaran berharga itu tidak pernah saya lupakan. Sunscreen jadi barang wajib bagi saya terutama ketika beraktivitas di luar ruangan. Dan saya selalu sedia cermin buat reapply setiap 1-2 jam kalau terpapar matahari terus-menerus. Mau dikata-katain, diomongin, digosipin orang, suka-suka lah. Saya yang tau apa yang saya butuhkan kok. Ini foto perjalanan saya naik gunung Bromo bersama sunscreen andalan yang saya aplikasikan setiap 1-2 jam.
Sebelum mendaki, tidak lupa saya re-apply sunscreen (ga sadar ternyata ada yang ngambil foto, hihi)
Setelah turun gunung. Bye bye kulit merah dan mengelupas, sun-tanned itu sexy lhoo :)


Namanya juga manusia, ga pernah puas

Setelah mencoba-coba skincare pasca "bencana matahari", saya mulai keranjingan dengan skincare. Salah satu brand skincare favorit saya yang bisa mengobati kondisi kulit saat itu adalah The History of Whoo. Cuma, namanya manusia ya, ga pernah puas, ketika saya browsing mencari-cari skincare untuk memperbaiki kondisi kulit, ketemulah dengan review-review menggiurkan dari skincare lainnya. Saya mulai mengoleksi skincare mulai dari toner, cream, serum, peeling, masker, dll. dari berbagai merk. Beberapa item favorit saya saya review di blog ini. Selain yang di-review masih banyak lagi yang saya pakai.

Intinya saya ingin kulit yang lebih mulus, bebas jerawat, bebas bekas jerawat, dan bebas dari pori-pori besar. Kalau kulit putih? Hmm, enggak deh, segini aja cukup, kalau lebih putih lagi nanti saya jadi vampir :(

Saya coba berbagai skincare mulai dari Etude House, Innisfree, The Skin Food, The History of Whoo, Sulwhasoo, Secret Key, Just Herbs, Gernetics, dll. Beberapa skincare bisa saya pakai sepanjang waktu dan masih saya gunakan hingga saat ini, sementara banyak juga yang cocok di kondisi kulit tertentu dan tidak cocok di kondisi lainnya sehingga saya tidak gunakan terus menerus, dan tak jarang juga yang tidak cocok (kalau yang begini biasanya dialih-fungsikan).

Karena saking banyaknya, tidak akan saya jelaskan secara mendetail. Intinya, dengan skincare yang baik, cara pengaplikasian yang baik, makanan bergizi, tidur cukup, dan tidak stress, kulit saya sempat berada dalam kondisi optimal.

Stress, pengaruhnya secara langsung ke kulit, dan peralihan ke bahan alami

Setelah beberapa bulan, saya mengalami guncangan dalam hidup. Yah, jadilah stress. Efek dari stress tersebut juga mengakibatkan saya mengalami sulit tidur (insomnia), konsumsi makanan tidak teratur, sakit kepala terus-menerus, dan tentu saja jam biologis saya kacau balau. Ya, tubuh saya berantakan. Tidak sedikitpun saya mengganti skincare/cara pengaplikasian skincare. Tapi ternyata saya kembali mengalami penurunan kondisi kulit secara drastis, mulai dari pori-pori besar, kulit kusam, dan tentunya, breakout parah.

Bangkit dari keterpurukan memang bukan hal mudah, terutama jika tinggal sendiri dan kurang dekat dengan sahabat/keluarga. Selama berbulan-bulan saya mengalami stress namun tidak sadar, lebih tepatnya saya menolak mengakui bahwa saya sedang ada masalah dan saya menyembunyikan masalah tersebut dari orang-orang di sekitar saya.

Tentu saja, stress berkepanjangan ini berakibat pada turunnya kesehatan jasmani saya secara keseluruhan dan terpancar secara langsung dari wajah. Yup, face is the window to your body. Wajah saya tidak henti-henti berjerawat. Saya tambah stress lagi dengan kondisi kulit ini. Jadi semacam lingkaran setan.

Pertama-tama yang saya lakukan adalah menenangkan diri, berupaya melawan stress. Lalu memperbaiki pola hidup yang rusak. Kedua tahapan ini sangat sulit, sampai sekarang pun saya masih belum sepenuhnya berhasil. Barulah seiring perbaikan tersebut dibarengi dengan skincare yang baik.

Nah, ada satu lagi, skincare import sudah tidak bisa saya beli karena terlalu tinggi biayanya dibanding anggaran bulanan saya. Akhirnya saya berusaha mencari-cari skincare yang tersedia di supermarket lokal. 
Karena kulit saya sedang berjerawat, maka saya pilih salah satu varian skincare yang khusus kulit berjerawat. Awalnya terasa bagus, karena beberapa jerawat saya cepat mengering. Tapi, lama-lama muncul bintik-bintik kecil yang merah dan gatal, jika digaruk terasa perih. Setelah saya browsing, sepertinya itu tanda-tanda kulit saya menjadi kering dan iritasi. Secepatnya saya hentikan semua rangkaian skincare itu. Kelihatannya kulit saya menjadi semakin sensitif, atau mungkin skincare tersebut terlalu keras buat kulit saya, merk yang cocok buat saya selama ini impor sih, jadi saya kurang akrab dengan skincare lokal. 

Saya pun mulai mencari alternatif berupa bahan-bahan alami untuk perawatan kulit. Saya browsing fungsi-fungsi dari bahan-bahan makanan yang saya miliki dan dicoba di kulit. Sejauh ini yang paling aman di kulit saya adalah minyak zaitun (bahasan lengkapnya ada di post sebelumnya). Oh ya, saya juga menemukan blog DIY miliki mbak Lintang yang membahas banyak sekali resep-resep DIY. Beberapa sudah saya praktikkan, meski tidak semua cocok di saya.. hehe..

Sejauh ini kulit saya cukup bersahabat dengan minyak zaitun, garam, teh, dan beras. Kacang-kacangan, jahe, gula, dan madu (bukan madu asli, tapi madu komersil yang bercampur gula) membuat kulit saya berjerawat. Tapi, hingga saat ini keempat bahan tadi sudah cukup untuk menggantikan makeup remover, facial foam, toner, dan moisturizer komersil yang sudah tidak saya gunakan lagi. Btw, saya masih pakai makeup dan peeling komersil kok.

Kondisi kulit saat ini

Saat ini saya masih sering mengalami jerawat, terutama jika saya stress, salah makan, kurang menjaga kebersihan, sedang PMS, atau jika bahan skincare yang saya coba ternyata tidak cocok, hehe. Tapi, berita baiknya adalah, jerawat cystic sudah mulai berkurang kemunculannya. Yang tertinggal saat ini cuma beberapa bekas jerawat cystic di breakout terakhir yang cukup parah.


Kondisi kulit terkini, dengan bekas jerawat dari breakout sebelumnya, bare-face, no-editing 

Well, cukup panjang ya. Itulah cerita perjalanan kulit dan skincare saya dari dulu hingga sekarang. Mulai dari yang super cupu masalah skincare, gila menjajal segala jenis skincare, sampai back to natural skincare regime. Saya masih berjuang menghadapi jerawat dan bekas-bekasnya. Tapi, saya senang beralih ke natural skincare. Menurut saya lebih aman, meski hasilnya tidak bisa dilihat dalam sekejap.

Kondisi kulit tidak hanya dipengaruhi oleh skincare yang kamu pakai, pola hidup dan tingkat stress juga sangat mempengaruhi. Sebaik apapun skincare-nya, kalau pola hidup kurang baik dan tingkat stress kamu tinggi, efek dari skincare tersebut akan berkurang dengan drastis.
Live healthily, happily, and beautifully!


With love,

Lynn

Comments

  1. Sore mbak lynn.. Kalau saya tawarkan produk perawatan kulit untuk segala macam permasalahan kulit yang sudah melalui tahapan research-technolgy-Innovation mau ? cek video nya ya.. terima kasih

    https://www.youtube.com/watch?v=aMRLjuNwuUs

    ReplyDelete
  2. Memang sukar sekali nak cari skincare bermutu tinggi. Moga baik2 sahaja ya.

    ReplyDelete
  3. Kak sekarang klo mau beli gernetic bisa langsung di distributor gernetic Indonesia bisa proses via shopee atau tokopedia jadi aman

    ReplyDelete

Post a Comment